Saturday, November 23, 2013

Indonesia Cinta Banci

Entah mengapa sudah lebih dari setahun ini saya menjadi semakin malas untuk menonton televisi. Ya kecuali untuk menonton pertandingan sepakbola. Sisanya semakin lama tidak terlalu menarik. Mungkin saya terlihat aneh. Karena semakin banyak manusia Indonesia yang berkebalikan dengan saya. Ya jelas saja, harga televisi semakin lama semakin terjangkau. Hampir setiap rumah pasti ada televisi.

Ya paling-paling saya hanya menonton berita, itu pun lebih banyak berita olahraga. Acara di televisi semakin banyak. Mereka berlomba-lomba untuk menaikkan rating program acaranya masing-masing. Bagus sih. Artinya mereka semakin dituntut berinovasi dalam berkreasi. Tetapi tetap saja saya merasa jengah dengan acara televisi sekarang.

Berbeda jauh dengan masa saya kecil. Di hari Minggu saya siap untuk duduk berjam-jam di depan televisi. Saya siap menyaksikan kartun-kartun yang ada. Sampai-sampai saya bingung untuk memilih kartun yang akan ditonton. Coba bandingkan sedikit dengan sekarang, hari Minggu diisi dengan acara musik yang itu-itu saja. Atau juga acara masak-memasak bersama koki yang cantik dan tampan. Dan tidak lupa acara yang memberi beberapa fakta unik yang bersumber youtube. Ya memang jika dipikir kembali, acara itu cocok untuk menemani bersantai dengan keluarga. Menikmati musik di pagi hari, memberi inspirasi untuk para keluarga, dan juga menyediakan informasi langka.

Tidak hanya di hari Minggu, acara-acara televisi selepas Maghrib dan Isya adalah prime time. Tetapi saya sangat bisa menikmati waktu dimana pemirsa televisi berada. Ingat kan dengan acara lawakan hingga berjam-jam. Sisanya hanya sinetron dan beberapa tayangan film, dan segelintir acara berita, talkshow, dan reality show. Menarik sih, tapi apa gak bosan? Coba perhatikan sinetron di RCTI, sadarkah jika hampir sepanjang tayangan hanya menampilkan wajah dengan jarak yang sangat dekat? Lalu sinetron-sinetron dengan gaya kerajaan, sadarkah jika semua yang berambut panjang adalah jagoannya?

Ada satu lagi fenomena di televisi Indonesia. Sensor. Hampir semua disensor terutama di tayangan film. Rokok atau cerutu disensor. Ada belahan dada disensor. Ada adegan kejam dengan banyak darah dipotong. Adegan ciuman pun disensor atau dipotong. Saya yakin 100% itu adalah tujuan yang baik dari lembaga sensor atau sejenisnya itu lah.

Tapi saya bingung, kenapa peran banci selalu tidak disensor? Memang itu bertujuan untuk hiburan semata. Tetapi apakah banci suatu hal yang wajar bagi masyarakat Indonesia? jadi ya tidak terkena sensor? Jika berbicara kewajaran, rokok pun adalah hal yang wajar. Iya kan? Berjuta-juta manusia di tanah air itu merokok, dan rokok tersensor. Hanya segelintir banci di Indonesia. Tetapi tidak tersensor. Padahal ya, apa sih segi wajarnya dari seorang banci? Oh saya tahu! Mungkin karena banci tidak merokok atau menghisap cerutu, atau banci tidak memamerkan belahan dada, atau tidak melakukan tindakan kekejaman dan bersimbah darah, atau juga banci tidak melakukan ciuman. Ya kan?

Negara ini kan berpenduduk dengan mayoritas Islam. Sebagian kecil suka bertindak dengan tegas. Mereka berani memberantas maksiat, pemabuk, dan warteg di bulan Ramadhan. Ya sedikit sejalan dengan sensor rokok, belahan dada, kekejaman, dan ciuman. Tapi mereka sepertinya baik-baik saja dengan banci. Padahal setahu saya di Islam jelas dilarang jika pria menjadi seperti wanita seperti banci. Aneh. Aneh. Aneh.

Memang pembentukan karakter bisa saja berawal dari aksi media televisi. Dengan tayangan-tayangan yang lebih berkualitas, pasti otomatis masyarakat akan terbawa. Sensor rokok dan sebagainya adalah contoh aksinya. Ya saya disini bisa menyimpulkan bahwa Indonesia ingin tumbuh dengan sehat secara rohani dan jasmani. Tanpa asap penyebab kanker dan hawa nafsu yang berlebih akibat melihat belahan dada dan ciuman. Tetapi Indonesia ingin tumbuh bersama/sebagai/menjadi banci. Benar?

Sadarlah.

1 comment:

  1. nice post gan , , ,
    salam kenal . . . .mampir diblog q ya , , ,

    ReplyDelete

Postingan Populer