Tuesday, July 12, 2016

7 Pemain Penerus Gianluigi Buffon



Sebagai salah satu negara yang disegani di bidang sepakbola, Italia memang tak pernah habis dalam menelurkan bakat-bakat baru. Negara yang berhasil menjuarai Piala Dunia selama empat kali ini dikenal dengan gaya permainan bertahannya. Italia juga dikenal selalu memiliki kiper-kiper hebat tiap generasinya, mulai dari Dino Zoff hingga Gianluigi Buffon.

Untuk Buffon, ia telah menjadi legenda hidup Italia dengan mencatat penampilan lebih dari 160 kali. Ketenangannya di depan gawang dan konsistensi permainannya membuat ia mampu bermain di level tertinggi hingga usia 38 tahun. Kehadirannya sulit digeser oleh pemain-pemain lain di generasinya, bahkan hingga membuat Christian Abbiati mundur dari tim nasional karena tak ingin menjadi pilihan kedua.

Meski kabar yang beredar menyatakan bahwa Buffon akan kembali untuk Piala Dunia, Italia harus sadar bahwa nanti usianya akan menyentuh kepala empat. Untuk itulah regenerasi di sektor kiper sangat diperlukan. Jika bicara kualitas, tentu para penjaga gawang Italia memiliki kemampuan yang baik, hanya saja pengalaman mereka di kancah internasional terkadang masih "terbentur" dengan kehadiran Buffon.

Lalu, siapa saja yang berpotensi menjadi pelindung nomor satu Italia setelah Buffon? Jika melihat penampilan mereka di musim lalu, setidaknya ada 6 nama yang patut diberi kesempatan lebih dalam membela negaranya.

1. Emiliano Viviano


Penjaga gawang yang bermain untuk Sampdoria ini sebenarnya telah mencuat namany ketika ia dipercaya sebagai pilihan utama untuk Italia di ajang Piala Dunia U-20 tahun 2005. Saat itu Viviano bermain untuk Cesena sebagai pemain pinjaman dari Brescia. Karirnya pun semakin menanjak setelah kembali ke Brescia dan berhasil merebut tempat utama selama empat musim berikutnya. Berkat itulah ia dilirik oleh Inter yang merekrut setengah kepemilikannya sebelum dipermanenkan pada 2011.

Sayangnya, karir pemain kelahiran Florence ini sempat jatuh bebas ketika dirinya dihantam cedera serius pada Juli 2011. Viviano pun akhirnya terpaksa absen hampir selama satu tahun. Karirnya kembali menanjak saat membela Palermo dan Fiorentina, tapi kembali mundur ketika ia dipinjamkan ke Arsenal hanya untuk menghangatkan bangku cadangan.

Akhirnya ia kembali ke Italia dan bergabung dengan Sampdoria. Di sanalah ia mulai perlahan menemukan performa terbaiknya, puncaknya ada di musim 2015/16 lalu. Sepanjang musim, Viviano mencatat total 141 penyelamatan dengan rata-rata 3,8 dari 37 penampilan. Bahkan situs whoscored.com menjadikan Viviano sebagai kiper dengan nilai terbaik di Serie-A.

Jika Buffon pensiun dari timnas, tentu ini adalah waktu yang tepat bagi Viviano. Di usianya yang memasuki 31 tahun, ia telah memasuki usia emas seorang penjaga gawang. Ya, tinggal bagaimana ia menjaga konsistensi permainannya jika tempatnya tak ingin direbut oleh pemain yang lebih muda.

2. Salvatore Sirigu


Mungkin di antara para kandidat pengganti Buffon, Salvatore Sirigu memiliki peluang yang paling besar. Pasalnya, ia sering dipercaya sebagai pelapis Buffon di beberapa turnamen mulai dari Euro 2012 hingga 2016 lalu.

Di awal karirnya, Sirigu bermain sebagai gelandang, namun karena kondisi asma yang diidapnya ia beralih sebagai penjaga gawang setelah mengikuti saran pelatihnya dulu. Pada 2002, ia bergabung dengan tim junior Palermo dan sempat mengasah kemampuannya ketika dipinjamkan ke Cremonese dan Ancona.

Ia kembali ke tim utama Palermo pada musim 2009/10 sebagai pelapis Rubinho. Namun karena penampilan buruk rekrutan baru tersebut, Sirigu diberikan kesempatan tampil. Hasilnya pun memuaskan, hingga ia berhasil merebut tempat utama di bawah mistar Palermo. Sirigu juga mendapat julukan "Walterino", yang bermaksud menyamakan dirinya dengan Walter Zenga, kiper legendaris serta pelatih Palermo saat itu.

Kepindahannya ke Paris Saint German pun berbuah baik. Dia kembali menggeser kiper utama saat itu, Nicholas Douchez. Bermain reguler dan berpartisipasi di turnamen tertinggi Eropa sangat membantu karirnya. Bahkan, ia juga memecahkan rekor clean sheet PSG milik Bernard Lama.

Meski memiliki peluang besar untuk mengganti Buffon, nyatanya karir Sirigu justru di ambang kemunduran. Dirinya mulai tergeser dari tempat utama, dan pihak PSG pun telah menyatakan tak keberatan jika dirinya ingin hengkang. Rasanya Sirigu harus bergerak cepat jika tak ingin karirnya dihabiskan di bangku cadangan.

3. Mattia Perin


Dalam beberapa tahun terakhir, nama Mattia Perin telah digadang-gadang akan menjadi penerus Buffon di masa mendatang. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Sebagai seorang penjaga gawang, menjadi pilihan utama di usia yang terbilang muda, 23 tahun, adalah hal yang patut diperhatikan. Apalagi mengingat ia berada di Serie-A yang gemar menggunakan kiper-kiper asing. 

Perin melakukan debut profesionalnya pada 2011 lalu saat mengalahkan Cesena dengan skor 3-2. Dua tahun berikutnya, ia dipinjamkan ke Padova dan tim promosi Pescara. Meski gagal menyelamatkan Pescara dari degradasi, Genoa memulangkan Perin dan mulai memercayainya sebagai starter. Berkat penampilan konsistennya, Perin dibawa oleh Prandelli ke Piala Dunia 2014 sebagai kiper ketiga.

Di musim lalu, Perin kembali dipercaya sebagai penjaga gawang utama Genoa. Meski beberapa kesempatan harus bergantian dengan Eugenio Lamanna. Namun penampilannya sempat mencuri perhatian dengan rataan penyelamatan 3,3 dari 25 pertandingan.

Dengan usianya yang masih muda, Mattia Perin masih memiliki karir yang panjang. Meski tak akan langsung mendapatkan tempat utama di tim nasional, boleh dibilang bahwa Perin adalah salah satu talenta terbaik yang Italia miliki saat ini.
 
4. Andrea Consigli



Jika ada yang berkata bahwa Sassuolo adalah klub yang tepat dalam memoles pemain, rasanya itu hal yang tepat. Saat ini klub yang berkostum hijau-hitam itu memang dikenal saat memaksimalkan bakat seorang pemain, salah satunya adalah Consigli yang melakukan debut internasionalnya di bawah asuhan Prandelli.
Nama Andrea Consigli mungkin terdengar asing untuk sebagian besar orang. Namun saya rasa, ia adalah salah satu kiper yang underrated di Serie-A.

Consigli mengawali karir di Atalanta sejak di tim junior 12 tahun lalu dan masuk ke tim utama pada 2006. Seperti lumrahnya pemain muda, ia dipinjamkan ke klub Serie C1/B, Sambanedettese, dan membantu mereka bertengger di posisi 8 klasemen. Setahun berikutnya, pria kelahiran Cormano tersebut kembali dipinjamkan ke Rimini yang berlaga di Serie-B.

Kembalinya dari masa peminjaman, Consigli secara perlahan menjadi kiper utama Atalanta di musim-musim berikutnya. Secara total, ia telah mengecap 193 pertandingan bersama Atalanta. Musim terbaiknya hadir pada 2013/14 saat ia membukukan 129 penyelamatan. Namun sayang, ia malah dilego ke Sassuolo di akhir musim.

Di Sassuolo, Consigli yang semakin matang berhasil menunjukkan performa apik. Musim lalu ia menjadi pilihan utama dengan catatan total 100 penyelamatan dan 9 clean sheet sepanjang musim. Berkat penampilan impresifnya, Sassuolo menyelesaikan musim di posisi ke-6.

5. Marco Sportiello



Nama Marco Sportiello telah menarik perhatian saya sejak dua musim lalu. Kepergian Andrea Consigli dari Atalanta ke Sassuolo memberi berkah untuk Sportiello. Tanpa disangka ia berhasil menggeser kiper veteran Giorgio Frezzolini dan pemain baru, Vlada Avramov. Tentu hal itu cukup mengejutkan, karena selain Sportiello masih berusia 22 tahun saat itu, ia sebenarnya diproyeksikan menjadi kiper ketiga.

Penampilannya selama membela Atalanta terbilang sangat baik. Dua tahun lalu, ia tercatat sebagai penjaga gawang dengan penyelamatan terbanyak di liga. Di musim lalu pun ia kembali menjaga performanya dengan total 103 penyelamatan dari 36 pertandingan. Ya bisa dibilang Atalanta sangat terbantu oleh kehadiran Marco untuk menghindari jeratan degradasi.

Di kancah internasional, Sportiello belum mendapatkan kesempatan sama sekali. Namun bukan mustahil jika suatu saat ia mengenakan kostum tim nasional, bersaing dengan Mattia Perin di masa depan. Hal ini tentu saja bisa terjadi, apalagi jika ia nantinya bisa bergabung dengan klub yang lebih besar dari Atalanta.

6. Nicola Leali



Satu lagi kiper muda berbakat yang dimiliki oleh Italia, Nicola Leali. Karirnya diawali di tim primavera Brescia pada 2009. Baru pada musim 2010/11 ia dipromosikan ke tim utama untuk mengisi slot kiper ketiga di bawah Matteo Sereni dan Michele Arcari. Setahun berikutnya, ia menjadi pilihan utama meski di akhir-akhir musim ia digeser oleh Andrea Caroppo karena Leali diisukan hengkang ke klub lain.

Akhirnya pria kelahiran Castiglione delle Stiviere ini memutuskan untuk bergabung dengan Juventus. Namun hingga sekarang Leali belum sekalipun mencicipi tampil di pertandingan kompetitif bersama Il Bianconeri, dan lebih banyak dipinjamkan ke klub lain.

Namun ketika sedang berada di klub lain, Leali selalu berhasil mendapat waktu bermain yang banyak. Ia menjadi pilihan utama saat di Virtus Lanciano, Spezia, Cesena, dan terakhir Frosinone. Penampilannya di Frosinone mendapat banyak pujian dari berbagai pihak. Secara statistik, Leali juga menunjukkan kebolehannya dengan raihan total 122 penyelamatan. Angka ini adalah yang tertinggi ketiga jika dibandingkan dengan kiper-kiper Italia di liga musim lalu.

Saat ini, Leali masih dimiliki oleh Juventus. Menariknya adalah di musim depan ia akan dipinjamkan ke klub yang lebih besar dibanding sebelum-sebelumnya, Olympiakos. Hal ini sangat bagus untuk karirnya. Jika ia berhasil menunjukkan performa yang lebih baik dari musim lalu, bukan tak mungkin ia akan dibeli secara permanen oleh klub raksasa Yunani tersebut. Rasanya akan jauh lebih baik jika ia harus kembali berseliweran di tim-tim kecil.

***
 
Sebenarnya masih ada beberapa nama lagi yang mungkin pantas untuk masuk ke daftar ini. Contohnya seperti Federico Marchetti (Lazio), Gianluigi Donnarumma (MIlan), Antonio Mirante (Bologna), dan Stefano Sorrentino (Palermo) yang musim lalu menampilkan performa yang baik.
 
Penampilan seorang kiper memang tak bisa dinilai hanya dari jumlah kebobolan maupun penyelamatannya saja. Ada banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi. Salah satu contoh yang paling penting adalah lini pertahanan itu sendiri. Kiper seperti Buffon atau Sirigu meski memiliki skill yang baik, mereka juga dibantu dengan berada di tim yang hebat. Ini juga terjadi pada Consigli di Sassuolo.
 
Ya bagaimana pun, ketika waktunya Buffon untuk mundur, Italia tak akan pernah kehabisan talenta penjaga gawang.

Monday, July 11, 2016

Portugal Kini dan 12 Tahun Lalu



Piala Eropa 2016 telah usai dan memunculkan Portugal sebagai juara baru. Melihat gelaran Euro kali ini memang meninggalkan banyak cerita. Mulai dari pertemuan para raksasa sebelum partai final hingga cerita para underdog yang mengejutkan. Bisa dibilang, Euro 2016 adalah salah satu yang meninggalkan banyak kesan untuk saya.
Hal ini mengingatkan saya pada 12 tahun lalu, ketika pertama kalinya saya benar-benar menyaksikan dengan seksama gelaran Piala Eropa. Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika menonton sepakbola dengan antusias yang tinggi. Ya ketika saya begitu menggilai yang namanya sepakbola.

Masih segar diingatan ketika Portugal masih didominasi oleh pemain Benfica dan Porto. Namun ketika diperhatikan lagi, entah hanya kebetulan atau tidak, tapi memang banyak kemiripan yang hadir pada tim Portugal 2004 dan 2016 ini.

Wonderkid

Setiap tim yang berlaga di putaran final Piala Eropa tentu memiliki wonderkid, pemain muda dengan talenta mumpuni yang sering digadang-gadang menjadi bintang di masa mendatang. Tahun ini, nama Renato Sanches yang masih berusia 18 tahun berhasil mencuri perhatian khalayak. Kemampuannya dalam menyerang dan bertahan sangat membantu lini tengah Portugal. Kerja kerasnya pun terbayar ketika ia mencetak gol penyama kedudukan saat berhadapan dengan Polandia di perempat final. Berkat gaya permainannya yang bertenaga itulah ia sering dimirip-miripkan dengan Edgar Davids.

Jika di 2016 ada Renato Sanches, 12 tahun lalu Portugal punya Cristiano Ronaldo. Ya, ketika itu pria yang kini menjabat sebagai kapten tim nasional ini masih berusia 19 tahun. Di usia yang muda, penampilannya menarik perhatian meski tak selalu menjadi pilihan utama. Dia juga mencetak dua gol sepanjang turnamen. Namun sayang ia gagal membawa Portugal ke tangga juara meski mencapai partai final ketika itu.

Ya, semoga saja di 12 tahun mendatang, Renato Sanches bisa mengikuti jejak Ronaldo.

Superstar Bernomor Punggung 7

Portugal kini dan 12 tahun lalu punya mega bintang dengan angka 7 di punggungnya, Cristiano Ronaldo dan Luis Figo. Ya keduanya adalah salah satu pesepakbola terbaik Portugal yang pernah ada. Ronaldo dan Figo memang memiliki kemiripan dalam hal bermain. Keduanya memiliki skill dribble di atas rata-rata dan memiliki tendangan yang akurat. Mereka juga memiliki posisi asli sebagai winger, dan juga mematikan saat mengeksekusi bola mati.

Uniknya, baik Ronaldo 2016 dan Figo 2004 sama-sama berusia 31 tahun dan bermain untuk Real Madrid. Bedanya, ketika itu Figo bukanlah kapten utama laiknya Ronaldo. Pada 2004, kapten Portugal adalah Fernando Couto yang bermain untuk kesebelasan Lazio. Sayangnya, Figo (serta Ronaldo) gagal membawa Portugal menjadi juara di 2004 lalu.

Pemain Tertua adalah Pemain Belakang

Ada pemain muda, tentu juga ada pemain yang berusia jauh lebih tua. Ketika bermain di sebuah turnamen, pemain berpengalaman memang dibutuhkan oleh pelatih. Dengan mental yang lebih teruji, tak jarang mereka justru memberi pengaruh yang besar, tak terkecuali dengan Portugal.

Jika membandingkan antara Portugal 2004 dan 2016, mereka memiliki kesamaan pada pemain dengan usia yang paling senior. 12 tahun lalu, Portugal punya Fernando Couto yang juga bertindak sebagai kapten, saat itu usianya telah 34 tahun. Sedangkan di 2016, mereka diperkuat oleh Ricardo Carvalho yang telah menginjak 38 tahun. Uniknya, kedua pemain ini sama-sama berposisi sebagai pemain belakang.

Bisa dibilang, skuad Portugal kali ini memang banyak diperkuat oleh pemain-pemain senior. Tercatat ada total 9 pemain yang usianya telah mencapai kepala tiga, termasuk Ronaldo dan Carvalho. Berbeda dengan Portugal 2004 yang "hanya" punya lima pemain saja.

***

Memang banyak kemiripan yang muncul yang tak disadari antara Portugal kini dan 12 tahun lalu. Setelah saya perhatikan lagi, ada satu lagi kemiripan, tetapi bukan dari tim Portugal. Yaitu, saya pribadi menyaksikan Euro 2016 seperti Euro 2004. Menonton sepakbola dengan antusias yang tinggi bagai awal "kegilaan" saya pada sepakbola, hehe.

Postingan Populer