Iri rasanya melihat Leicester berhasil menjuarai Liga Inggris musim
ini. Ya, siapa pun pasti iri melihatnya. Tanpa pemain bintang apalagi
diunggulkan untuk merangsek ke papan atas, tim asuhan Claudio Ranieri ini
berhasil mematahkan segala dugaan dan prediksi untuk siapa yang merajai
sepakbola Inggris.
Tentu siapapun pasti sudah tahu bagaimana kisah sukses Leicester. Dari
segala aspek yang telah dibahas banyak orang, saya rasa Ranieri pantas diberi
kredit lebih. Salah satu kunci keberhasilan Leicester adalah mereka mampu
menjaga konsistensi sejak awal musim.
Sebagai seorang pelatih yang terkenal gemar menggonta-ganti susunan
pemain dan formasi, memiliki ‘winning team’ adalah suatu terobosan yang besar
bagi seorang Claudio Ranieri. Mungkin memang hal inilah yang diperlukannya sejak
lama. Cara ini sebenarnya telah dibuktikan oleh beberapa pelatih, sebut saja
Carlo Ancelotti dan Jose Mourinho saat menukangi Milan dan Inter, mereka bahkan
berhasil menjuarai Liga Champions.
Berbicara masalah konsistensi, kebetulan tim idola saya bermasalah
dengan hal yang satu ini bahkan sejak beberapa tahun ke belakang. Ya, tim itu
adalah Inter yang saat ini masih diasuh oleh Roberto Mancini.
Jika mengingat kembali, Inter juga dikenal gemar ‘merotasi’
pelatihnya. Terhitung ada tujuh nama yang menukangi Inter selepas kepergian
Mourinho ke Real Madrid. Bahkan beberapa di antaranya dipecat pada pertengahan
musim. Mereka adalah Rafael Benitez, Gianpiero Gasperini, Walter Mazzarri, dan
Claudio Ranieri.
Sebagai tim yang sering berganti pelatih, wajar jika para performa pemain
akan terpengaruh. Lihatlah nama-nama tadi, mereka memiliki gaya bermain yang
berbeda-beda. Bahkan untuk Gasperini dan Mazzarri, yang sama-sama menggunakan
formasi dasar dengan tiga pemain belakang, juga menerapkan permainan yang
berbeda. Apalagi dengan Ranieri yang kerap berganti formasi dan juga pemain
inti.
Sayangnya, kesalahan Ranieri di masa lalu seolah diulangi oleh Roberto
Mancini. Tercatat, total Inter telah menerapkan tujuh formasi yang berbeda.
Dengan pergantian formasi, pemain pun terpaksa dirotasi untuk memenuhi
kebutuhan. Alhasil Inter yang sempat memuncaki klasemen hingga pertengahan
musim harus puas tergusur hingga sekarang stabil (baca:mentok) berada di posisi
keempat.
Coba kita lihat, dari total 26 pemain yang pernah diturunkan Mancini,
yang paling sering menjadi starter adalah Samir Handanovic (35 kali), Jeison
Murillo (31), Mauro Icardi (31), dan Miranda (30). Sisanya tidak/belum
menyentuh 30 kali starter. Rotasi pemain ini hampir tak menyentuh bagian
jantung pertahanan dan ujung tombak. Artinya, lini tengah memang menjadi bagian
yang paling sering dibongkar pasang.
Uniknya, formasi apapun yang digunakan oleh Mancini, Inter tetap
tampil dengan ciri khas, yaitu dengan mengandalkan penguasaan bola serta
umpan-umpan pendek. Namun penyelesaian akhir Inter masih jauh dari kata
memuaskan.
Jika dibandingkan dengan tim yang berada di lima peringkat teratas
saat ini, baik dari jumlah gol, assist, dan umpan kunci, Inter menjadi yang
terlemah. Ya bahkan kalah dari Fiorentina yang duduk satu peringkat di bawah
Inter. Kita juga tahu di awal musim, Nerazurri meski sering menang tapi hanya
menghasilkan skor tipis 1-0 saja. Saya ragu tumpulnya lini serang Inter apakah
karena lini tengah mereka yang kurang mendukung atau sebaliknya, ini karena
Mancini yang sering mengganti formasi.
****
Leicester adalah salah satu contoh bahwa sukses akan hadir dari
konsistensi. Jika Mancini ingin kembali berjaya, maka menjaga konsistensi
adalah suatu kewajiban. Dengan formasi 4-2-3-1 yang dalam beberapa pertandingan
terakhir digunakan, rasanya ini bisa menjadi modal untuk di musim depan. Pondasi
pun telah terbangun dari Handanovic, Murillo, Miranda, dan Icardi. Ditambah
lagi dengan trio balkan, Perisic, Brozovic, dan Ljajic yang menjadi semakin
padu, rasanya sudah cukup terbentuk sebuah tim yang kuat.
Namun kuat saja tak cukup jika menjadi tim yang inkonsisten. Kalau tak
percaya, coba tanya Chelsea atau Liverpool juga boleh.