sumber gambar: (www.mbahwo.com)
Akuilah bangsa ini sedang
dibanjiri oleh semangat untuk menjadi lebih baik. Dimulai dari pelantikan
presiden ketujuh, Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi disambut
dengan antusias yang tinggi oleh masyarakat. Sebuah harapan baru untuk bangkit
dari keterpurukan dan menjadi lebih baik di mata dunia kembali ditunjukkan
bangsa ini. Kabinet pun telah terbentuk dan kembali menimbulkan optimisme dari
masyarakat. Walaupun tetap ada yang mengkritik beberapa keputusan presiden ini.
Tapi tak apalah toh kritik itu hal yang wajib ada.
Mungkin paragraf di atas terlalu
mengada-ada tapi setidaknya itulah yang terasa dari lingkungan saya. Keluarga,
rekan, dan sahabat-sahabat pun ikut terbawa dalam rasa optimis bahwa bangsa ini
akan semakin maju. Apalagi kemarin 28 Oktober kita memperingati Sumpah Pemuda,
salah satu tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia. Seolah-olah kita kembali
disentil untuk kembali membawa semangat para pemuda pejuang kemerdekaan di
dalam hidup kita. Tujuannya hanya satu, kebanggaan bangsa Indonesia.
Dalam gelora semangat untuk
berkarya dan memajukan bangsa ini, ada satu peristiwa menjijikan. Sayangnya ini
terjadi di dalam suatu olahraga yang begitu dicintai mayoritas penduduk negeri
ini, sepakbola. Ya, Sepakbola Gajah
yang berujung dengan terciptanya 5 gol bunuh diri dalam laga Divisi Utama
antara PSS Sleman vs PSIS Semarang.
Bagi yang belum tahu, istilah
sepakbola gajah mengacu pada pengaturan skor sebuah pertandingan. Laiknya para
gajah yang bermain bola dengan skor yang sudah disusun oleh para pawangnya
sebelum bertanding. Sebenarnya di Indonesia sendiri tragedi PSS vs PSIS ini
bukan yang pertama dalam sejarah. Bahkan ketika saya membaca-baca tentang
skandal pengaturan skor ini telah terjadi sejak zaman Perserikatan, jauh
sebelum ISL bergulir.
Tepatnya pada 1988 saat Persebaya
sengaja mengalah dengan skor 0-12 dari Persipura. Dengan niat menjegal langkah
PSIS sebagai bentuk balas dendam sebagai penyebab mereka gagal lolos ke babak 6
besar. Absurd.
Sebenarnya, di level klub Divisi
Utama ini banyak terjadi kecurangan yang tak jelas asal-usulnya. Salah satunya
adalah menang dengan cara WO (Walk Out). Memang saya tidak mengikuti secara rutin
tentang Divisi Utama, ya hanya sebatas berita tentang klub di kota saya,
Persikabo. Saya sering melihat berita tentang lawan-lawan satu grup lainnya
pernah menang secara WO. Entah apa alasannya, apakah itu kendala segi ekonomi
klub ataupun masalah keamanan. Dan satu lagi kemungkinan yang paling
mengkhawatirkan adalah pengaturan skor. Tak jarang para klub seperti main mata untung kepentingan
masing-masing.
Sepakbola gajah ini bahkan
menggerogoti hingga ke tim nasional kita. Masih ingat ketika Piala Tiger 1998
di Vietnam. Seorang pemain Indonesia bernama Mursyid Effendi mencetak gol untuk
membantu kemenangan untuk Thailand 3-2 untuk menghindari bertemu tuan rumah
Vietnam di semifinal. Kejadian ini berujung hukuman seumur hidup dari sepakbola
untuk Mursyid Effendi. Walaupun pada akhirnya Singapura lah yang menjadi juara
bukan Vietnam yang begitu ditakutkan hingga rela menjatuhkan martabat negara.
Ada satu lagi yang menyita
perhatian saat Indonesia kalah dari Bahrain 0-10. Saat itu Indonesia sudah
dipastikan tak akan lolos dari grup. Sedangkan Bahrain harus mengejar selisih 9
gol jika ingin lolos. Benar atau tidaknya pernyataan AFC yang menjamin bahwa
pertandingan tersebut bebas dari konspirasi dan pengaturan skor tetap saja ini
sangat menggelikan.
Apa yang salah dengan sepakbola
Indonesia ini? Bukankah ratusan juta jiwa ini begitu mencintainya. Mengapa kita
sangat sulit untuk berkembang selama berpuluh-puluh tahun ini. Di masa penuh
dengan teknologi dan informasi ini pun masih ada saja yang menunjukkan sikap
konyol seperti PSS dan PSIS lakukan. Jika kita mengingat-ingat PSS dan PSIS
adalah klub yang memiliki sejarah panjang di pesepakbolaan Indonesia. Serendah
itukah harga diri mereka yang rela manjatuhkan martabat klub yang tak akan bisa
dihapus selama-lamanya? Apalagi media-media asing pun telah memuat berita
konyol ini. Menyedihkan.
Berbicara tentang harga diri,
mungkin tak hanya PSS atau PSIS saja yang harus kita pertanyakan. Tapi juga
kepada seluruh bangsa ini. Bayangkan para pejuang kemerdekaan kita dulu yang
rela berkorban habis-habisan demi Indonesia yang merdeka. Atau para tokoh-tokoh
dunia yang harus meregang nyawa demi idealisme dan harga diri mereka yang
tinggi. Apakah kita memang tak memiliki harga diri yang tinggi? Ya tak harus
bertindak ekstrem seperti Samurai di Jepang dulu. Tapi cukup dengan bertindak
dengan berjuang menjaga segala yang kita miliki dan meraih apa yang kita
butuhkan. Bukan dengan menyerahkannya begitu saja dengan berkhianat yang
dimulai dari diri sendiri.
Apa tak bosan dengan isu-isu
campur tangan pihak asing dari sumber daya alam hingga jalannya pemerintahan.
Berhentilah memalukan diri sendiri dan negara. Saya yakin jika kita memiliki
harga diri yang tinggi, Indonesia sudah menjadi negara yang sangat maju.
Termasuk dari bidang olahraga terutama sepakbola tercinta ini.
Memang masa sekarang sudah
berbeda dengan dulu, tapi tetap ada satu yang akan tetap sama. Yaitu para
pengecut dan pengkhianat yang selalu hilang dari buku sejarah. Semoga dengan
peristiwa menjijikan ini, hal itu bisa berubah agar kita belajar untuk
menghargai diri sendiri dan tak mempermalukan diri di hadapan negara lain.