Thursday, October 30, 2014

Sepakbola Gajah: Cerminan Krisis Harga Diri Bangsa




sumber gambar: (www.mbahwo.com)


Akuilah bangsa ini sedang dibanjiri oleh semangat untuk menjadi lebih baik. Dimulai dari pelantikan presiden ketujuh, Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi disambut dengan antusias yang tinggi oleh masyarakat. Sebuah harapan baru untuk bangkit dari keterpurukan dan menjadi lebih baik di mata dunia kembali ditunjukkan bangsa ini. Kabinet pun telah terbentuk dan kembali menimbulkan optimisme dari masyarakat. Walaupun tetap ada yang mengkritik beberapa keputusan presiden ini. Tapi tak apalah toh kritik itu hal yang wajib ada.

Mungkin paragraf di atas terlalu mengada-ada tapi setidaknya itulah yang terasa dari lingkungan saya. Keluarga, rekan, dan sahabat-sahabat pun ikut terbawa dalam rasa optimis bahwa bangsa ini akan semakin maju. Apalagi kemarin 28 Oktober kita memperingati Sumpah Pemuda, salah satu tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia. Seolah-olah kita kembali disentil untuk kembali membawa semangat para pemuda pejuang kemerdekaan di dalam hidup kita. Tujuannya hanya satu, kebanggaan bangsa Indonesia.

Dalam gelora semangat untuk berkarya dan memajukan bangsa ini, ada satu peristiwa menjijikan. Sayangnya ini terjadi di dalam suatu olahraga yang begitu dicintai mayoritas penduduk negeri ini, sepakbola. Ya, Sepakbola Gajah yang berujung dengan terciptanya 5 gol bunuh diri dalam laga Divisi Utama antara PSS Sleman vs PSIS Semarang.

Bagi yang belum tahu, istilah sepakbola gajah mengacu pada pengaturan skor sebuah pertandingan. Laiknya para gajah yang bermain bola dengan skor yang sudah disusun oleh para pawangnya sebelum bertanding. Sebenarnya di Indonesia sendiri tragedi PSS vs PSIS ini bukan yang pertama dalam sejarah. Bahkan ketika saya membaca-baca tentang skandal pengaturan skor ini telah terjadi sejak zaman Perserikatan, jauh sebelum ISL bergulir.

Tepatnya pada 1988 saat Persebaya sengaja mengalah dengan skor 0-12 dari Persipura. Dengan niat menjegal langkah PSIS sebagai bentuk balas dendam sebagai penyebab mereka gagal lolos ke babak 6 besar. Absurd.

Sebenarnya, di level klub Divisi Utama ini banyak terjadi kecurangan yang tak jelas asal-usulnya. Salah satunya adalah menang dengan cara WO (Walk Out). Memang saya tidak mengikuti secara rutin tentang Divisi Utama, ya hanya sebatas berita tentang klub di kota saya, Persikabo. Saya sering melihat berita tentang lawan-lawan satu grup lainnya pernah menang secara WO. Entah apa alasannya, apakah itu kendala segi ekonomi klub ataupun masalah keamanan. Dan satu lagi kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah pengaturan skor. Tak jarang para klub seperti main mata untung kepentingan masing-masing.

Sepakbola gajah ini bahkan menggerogoti hingga ke tim nasional kita. Masih ingat ketika Piala Tiger 1998 di Vietnam. Seorang pemain Indonesia bernama Mursyid Effendi mencetak gol untuk membantu kemenangan untuk Thailand 3-2 untuk menghindari bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Kejadian ini berujung hukuman seumur hidup dari sepakbola untuk Mursyid Effendi. Walaupun pada akhirnya Singapura lah yang menjadi juara bukan Vietnam yang begitu ditakutkan hingga rela menjatuhkan martabat negara.

Ada satu lagi yang menyita perhatian saat Indonesia kalah dari Bahrain 0-10. Saat itu Indonesia sudah dipastikan tak akan lolos dari grup. Sedangkan Bahrain harus mengejar selisih 9 gol jika ingin lolos. Benar atau tidaknya pernyataan AFC yang menjamin bahwa pertandingan tersebut bebas dari konspirasi dan pengaturan skor tetap saja ini sangat menggelikan.

Apa yang salah dengan sepakbola Indonesia ini? Bukankah ratusan juta jiwa ini begitu mencintainya. Mengapa kita sangat sulit untuk berkembang selama berpuluh-puluh tahun ini. Di masa penuh dengan teknologi dan informasi ini pun masih ada saja yang menunjukkan sikap konyol seperti PSS dan PSIS lakukan. Jika kita mengingat-ingat PSS dan PSIS adalah klub yang memiliki sejarah panjang di pesepakbolaan Indonesia. Serendah itukah harga diri mereka yang rela manjatuhkan martabat klub yang tak akan bisa dihapus selama-lamanya? Apalagi media-media asing pun telah memuat berita konyol ini. Menyedihkan.

Berbicara tentang harga diri, mungkin tak hanya PSS atau PSIS saja yang harus kita pertanyakan. Tapi juga kepada seluruh bangsa ini. Bayangkan para pejuang kemerdekaan kita dulu yang rela berkorban habis-habisan demi Indonesia yang merdeka. Atau para tokoh-tokoh dunia yang harus meregang nyawa demi idealisme dan harga diri mereka yang tinggi. Apakah kita memang tak memiliki harga diri yang tinggi? Ya tak harus bertindak ekstrem seperti Samurai di Jepang dulu. Tapi cukup dengan bertindak dengan berjuang menjaga segala yang kita miliki dan meraih apa yang kita butuhkan. Bukan dengan menyerahkannya begitu saja dengan berkhianat yang dimulai dari diri sendiri.

Apa tak bosan dengan isu-isu campur tangan pihak asing dari sumber daya alam hingga jalannya pemerintahan. Berhentilah memalukan diri sendiri dan negara. Saya yakin jika kita memiliki harga diri yang tinggi, Indonesia sudah menjadi negara yang sangat maju. Termasuk dari bidang olahraga terutama sepakbola tercinta ini.

Memang masa sekarang sudah berbeda dengan dulu, tapi tetap ada satu yang akan tetap sama. Yaitu para pengecut dan pengkhianat yang selalu hilang dari buku sejarah. Semoga dengan peristiwa menjijikan ini, hal itu bisa berubah agar kita belajar untuk menghargai diri sendiri dan tak mempermalukan diri di hadapan negara lain.

Saturday, October 4, 2014

Percakapan Unik di Sebuah SPBU

Di tengah teriknya matahari di musim kemarau ini membuat saya terkadang merasa lebih cepat lelah saat mengendarai motor. Hawa panas di siang hari disertai ramainya lalu lintas kota Bogor pun hanya menambah beban untuk menguji kesabaran. Apalagi ketika itu saya harus segera mengisi bahan bakar karena indikator BBM sudah mulai mendekati strip berwarna merah. Beruntung karena SPBU pun mudah ditemukan hampir di setiap jalan raya. Saya pun langsung menepi ke arah SPBU di seberang Rumah Sakit Azra.

Mungkin karena saat itu hari Minggu jadi lumayan ramai di siang hari. Di tempat khusus pengisian motor terlihat sebuah antrian yang cukup panjang. Tak perlu berlama-lama berpikir saya langung memutar untuk mengantri di tempat Pertamax yang terlihat agak sepi. Di sini saya menyaksikan kejadian unik.

Memang di sini bagian saya mengantri juga tersedia Premium jadi banyak mobil yang mengantri pun bukan untuk membeli Pertamax. Kebetulan di depan saya ada satu motor, sebuah angkot, dan mobil pribadi berwarna merah menyala. Sedangkan di sisi pengisian sebelahnya ada sebuah sedan hitam sedang menunggu gilirannya. Mobil merah ini berisi pemuda dan pemudi dengan pakaian glamor yang menyita perhatian remaja mana pun. Saya lihat si pemuda yang mengendarai mobilnya keluar dengan tingkah yang terkesan agak angkuh dan berbicara dengan pegawai SPBU untuk diisikan Premium ke mobilnya.

Saat menunggu bensin penuh, seorang pria paruh baya keluar dari sedan hitam bersama dengan anaknya yang kira-kira masih berusia di bawah 8 tahun. Awalnya mereka diam saja, hingga si anak bertanya "Pa, ini kok ada yang warna kuning, biru, sama hijau?" Si bapak pun awalnya tak sadar karena dia sedang melihat ke arah mobil merah yang terlihat sangat lama.

Ternyata si pemuda tadi memang membeli Premium dengan jumlah cukup besar untuk mobilnya. Dan dia tak membayarnya dengan uang tunai, jadi harus melalui proses yang kadang jauh lebih menyita waktu dari sekedar menyerahkan beberapa lembar uang.

Akhirnya si bapak ini menjawab dengan suara lantang yang bahkan saya yang mengantri di belakang pun bisa mendengarnya. "Ade, ini yang kuning namanya Premium, yang biru Pertamax, dan yang hijau ini Pertamax Plus". Anaknya pun membeo sambil menghapal satu per satu namanya. "Terus bedanya apa pa?" Anak itu lanjut bertanya. Di sini saya menduga bapak itu akan menjawab dengan rumit dengan membahas oktan atau timbal dan sebagainya, tapi saya keliru.

"Kalau yang kuning ini untuk orang yang gak mampu dek, macem motor atau angkot. Kalau yang biru sama hijau ini untuk orang yang mampu, yang mobilnya bagus-bagus gitu". Jawaban yang jauh di luar perkiraan saya. Si anak pun mengangguk-angguk seakan-akan paham jawaban ayahnya itu. "Berarti kita isi yang biru ya Pa, kan mobil kita bagus artinya kita mampu kan?" Anak itu pun berbicara dengan polosnya. Bapak itu pun mengangguk dan tersenyum dan saya yakin itu tanpa dibuat-buat.

Pemuda mobil merah yang membeli Premium pun hanya tertunduk selama percakapan lucu itu. Setelah selesai mengisi bensin dan membayar dengan proses yang sangat lama, dia langusng memacu mobilnya dengan cepat. Mungkin dia agak tersinggung dengan kelakuan ayah dan anak yang satu ini.

Saya hanya tersenyum dan tertawa dalam hati karena tak enak hati untuk menertawakan langsung. Hehe.

Postingan Populer